Systemic Lupus Erythrmatosus (SLE)

BAB I
LATAR BELAKANG

 Systemic Lupus Erythrmatosus (SLE) atau yang biasa dikenal dengan istilah Lupus adalah penyakit kronik/menahun. SLE merupakan penyakit daya tahan tubuh atau disebut penyakit autoimun pada manusia normal. Pada tubuh manusia, sistem kekebalan tubuh akan membuat antibodi yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari berbagai macam virus, kuman, atau bakteri dan benda-benda asing lainnya (antigen). Namun, pada penyakit autoimun seperti SLE, sistem kekebalan tersebut kehilangan kemampuan untuk melihat perbedaan antara substansi asing dengan sel dan jaringan tubuh sendiri. Pada penderita SLE antibodi yang dihasilkan terlalu berlebihan.  Sayangnya antibodi yang berlebihan ini tidak “menyerang”  benda asing yang masuk ke dalam tubuh tetapi justru “menyerang” sistem kekebalan sel dan jaringan tubuh sendiri. Antibodi ini disebut “auto-antibodi” yang kemudian bereaksi dengan antigen “sendiri” membentuk kompleks imun. Kompleks imun yang terdapat dalam jaringan  dapat menyebabkan peradangan, luka pada jaringan rasa sakit.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang masih awam ditelinga masyarakat Indonesia. Namun, bukan berarti tidak banyak orang yang terkena penyakit ini. Di dunia, penyandang penyakit SLE yang terdeteksi mencapai 5 juta orang dengan lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, jumlah penderita lupus juga terus meningkat. Data dari Yayasan Lupus Indonesia mencatat, di Indonesia terdapat 100.000 odapus (orang dengan penyakit lupus) sepanjang tahun ini. Di luar angka tersebut, masih banyak odapus yang tidak terdeteksi. Artinya, jumlah odapus bisa jadi lebih banyak dari data tersebut.
SLE dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien ditemukan pada perempuan usia produktif.  Sembilan dari 10 orang odapus adalah  wanita dan sebagian besar wanita yang mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun. Namun, masih belum diketahui secara pasti penyebab lebih banyaknya penyakit SLE yang menyerang wanita.
SLE dikenal juga dengan penyakit 1000 wajah karena gejala awal penyakit ini tidak spesifik, sehingga pada awalnya penyakit ini sangat sulit didiagnosa. Hal tersebut menyebabkan penanganan terhadap penyakit lupus terlambat sehingga penyakit tersebut banyak menelan korban. Penyakit ini ini dibagi menjadi tiga kategori yakni discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. Masing-masing kategori tersebut memiliki gejala, tingkat keparahan serta pengobatan yang berbeda-beda.
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi  remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan). Selain itu terdapat obat-obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan. NSAID dapat digunakan untuk mengobati SLE ringan. Obat antimalaria seperti  klorokuin dan hidroklorokuin dapat digunakan untuk mengatasi SLE dengan lesi kulit berbentuk cakram. Apabila terdapat pasien dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap penggunaan obat lain baru diberikan terapi kortikosteroid.
Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan yang diberikan harus rasional, yakni memenuhi kriteria 4T 1W (Tepat Indikasi, Tepat Dosis dan Cara Pengunaan, Tepat Pasien, Tepat Obat). Perawatan pada pasien SLE juga harus diperhatikan, seperti mengurangi paparan sinar UV terhadap tubuh pasien. Dengan adanya pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar selama masa terapi, diharapkan terapi dapat berjalan optimum sehingga kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Joe, 2009)
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.  Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Joe, 2009). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Joe, 2009). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Joe, 2009).
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Joe, 2009).

Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan. Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanime pengaktivan komplemen (Joe, 2009).

Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Joe, 2009).

2.2 Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Joe, 2009).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu    cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya  produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T. Abnormalitas dan diregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90  (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan  subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya  supresi  dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Joe, 2009). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Joe, 2009).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena  lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan  mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Joe, 2009).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat  (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan  komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi.  Sedangkan  pada  SLE  yang  terjadi  adalah ikatan dengan autoantibodi  yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang     akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Joe, 2009).


2.3 Gejala dan Persentasi Klinis
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, SLE merupakan penyakit multisistem. Daftar pada Tabel 1. memberikan berbagai tanda, sindrom dan kejadian pada pasien dengan SLE. Walaupun tanda-tanda tertentu mungkin lebih sering terjadi daripada yang lain, setiap pasien memberikan tanda-tanda yang berbeda dan perjalanan penyakit tidak dapat diprediksi. Lebih lanjut, SLE merupakan penyakit yang tidak tetap dan pada kebanyakan pasien terjadi fluktuasi selama perjalanan penyakit (Dipiro et al., 2008).
Tanda-tanda dan gejala-gejala non spesifik seperti kelelahan, demam, anoreksia, dan penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan penyakit yang aktif. Keterlibatan muskuloskeletal (seperti arthalgia, mialgia, arthritis) sangat umum terjadi pada  pasien SLE dengan seringnya arthritis dan arthralgia sebagai keluhan utama pada awal penyakit. Sendi-sendi pada tubuh dapat terpengaruhi dan terjadi secara berulang dalam jangka waktu yang pendek, yang sebagian besar terlihat seperti sendi kaku dan peradangan (Dipiro et al., 2008).
Manifestasi pada kulit dan membran mukosa merupakan gejala yang terjadi hampir sama seringnya seperti yang melibatkan sistem muskuloskeletal. Yang paling umum  dari manifestasi ini adalah butterfly rash, yang terjadi dari atas hidung dan malar eminences. Butterfly rash muncul pada setengah dari pasien dan sering diamati setelah terpapar matahari. Faktanya, fotosensitifitas umum terjadi pada pasien SLE dengan gejala manifestasi kulit. Karakteristik lesi pada kulit dari lupus diskoid terjadi pada 10%-20% pasien dengan SLE dan mungkin terjadi tanpa bukti klinis atau serologis lainnya dari lupus. Beberapa individu mengatakan untuk mengembangkan lupus kulit subakut, sifat lesi yang terlihat seperti diskoid (salah satu tipe lupus erythematosus kulit yang kronik)  dan butterfly rash (salah satu contoh lupus erythematosus kulit yang akut). Manifestasi kulit lainnya termasuk vaskulitis (yang mungkin ulceratif), livedo reticularis, periungual erythema, Raynaud’s phenomenon dan alopesia (Dipiro et al., 2008).
Sumber gejala yang lain pada SLE adalah sistem pulmonari dengan manifestasi seperti pleurisi, batuk dan dispnea. Pleurisi dapat menghasilkan nyeri pleuritik, pleural rub, dan efusi pleura yang biasanya bersifat eksudatif. Lupus pneumonitis dapat menjadi akut dengan demam, dispnea, takipnea, batuk dan patchy infiltrates atau kronik dengan fibrosis interstitial. Lupus pnemonitis merupakan manifestasi yang tidak biasa dari SLE dan memiliki sedikit prognosis (Dipiro et al., 2008).
Manifestasi jantung dari SLE sering terjadi seperti perikarditis, miokarditis, perubahan electrocardiographic (ECG) atau penyakit katup jantung, termasuk lesi jantung dari Libman-Sacks endocarditis (nonbacterial verrucous endocarditis). Diperkirakan bahwa perkembangan penyakit jantung pada pasien ini adalah multifaktorial. Hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia biasa terjadi pada pasien dengan SLE. Terapi kortikosteroid dan didasari dari penyakit ginjal dapat memberikan kontribusi beberapa faktor dalam pengembangan faktor risiko penyakit jantung (Dipiro et al., 2008).
Manifestasi neuropsychiatric dari SLE dapat terlihat dalam berbagai cara, termasuk psikosis, depresi, kejang, stroke, neuropati perifer, gangguan kognitif, dan lain-lain. Psikosis terlihat pada 12% pasien dengan SLE, dan depresi berat dianggap lebih berkaitan dengan penyakit daripada depresi reaktif (Dipiro et al., 2008).
Gejala yang berkaitan dengan manifestasi gastrointestinal sering tidak spesifik untuk lupus dan termasuk dispepsia, nyeri abdominal, mual, dan susah menelan. Vaskulitis mesenterika mungkin akan bermasalah, terutama jika terjadi perforasi arteri. Hepatomegali dapat terjadi pada beberapa pasien, meskipun gangguan fungsi hati tidak karakteristik untuk penyakit lupus. Pankreatitis juga dapat terjadi pada pasien dengan SLE (Dipiro et al., 2008).
Tabel 1. Tanda-Tanda dan Gejala-Gejala Klinis dari SLE dan Kejadiannya.
Gejala
Kejadian (%)
Muskuloskeletal
Arthritis dan arthralgia

42-79
Konstitusional
Kelelahan
Demam
Penurunan Berat Badan

80-100
41-86
31-71
Mucocutaneous
Butterfly rash
Fotosensitivitas
Raynaud’s phenomenon
Lesi discoid
55-85
10-61
11-58
10-34
9-29
Sistem Saraf Pusat
Psikosis
Kejang
12-75
5-52
6-26
Paru
Pleuritis
Efusi pleura

31-57
12-40
Kardiovaskular
Perikarditis
Miokarditis
Heart murmur
Perubahan ECG

2-48
8-40
12-44
34-70

Ginjal
31-65
Gastrointestinal
Mual
Nyeri abdominal
Perdarahan usus (vaskulitis)

7-53
8-34
1-6
Hepatomegali
25
Splenomegali
10-20
Hematologik
Anemia
Leukopenia
Trombositopenia

30-78
35-66
7-30
Limfadenopati
10-59
(Dipiro et al., 2008)
Anemia ditemukan pada banyak pasien dengan SLE. Hal ini biasanya berupa anemia dengan inflamasi kronik dengan normochronic ringan, noda normositik dan serum besi yang rendah namun menyimpan cukup zat besi. Beberapa pasien  dapat mengembangkan anemia hemolitik dengan uji Coomb positif. Leukopenia biasanya ringan, terjadi kira-kira pada setengah pasien SLE. Granulosit dan limfosit, keduanya mungkin terpengaruh tetapi biasanya terjadi penurunan jumlah yang sangat besar dari granulosit. Jumlah absolut dari limfosit T dan limfosit B menurun. Trombositopenia dapat terjadi pada SLE dan biasanya disebabkan oleh antiplatelet antibodi yang menyebabkan terjadinya proses fagositosis oleh makrofag dalam limpa, hati, node limpa, dan sumsum tulang (Dipiro et al., 2008).
Hal-hal signifikan lainnya yang ditemukan berkaitan dengan SLE yaitu adanya antibodi antifosfolipid seperti lupus antikoagulan (LA) dan antibodi anticardiolipin. Walaupun LA ditujukan terhadap kompleks aktivator protrombin dan menyiratkan potensi perdarahan, hal ini bukan permasalahannya. Faktanya, kehadiran LA, anticardiolipin, atau antibodi antifosfolipid lainnya mungkin berkaitan dengan thrombosis, penyakit neorologik, trombositopenia, dan keguguran. Trombotik terjadi pada lebih dari 10% pasien dengan SLE. Tidak semua pasien dengan sindrom antifosfolipid memiliki lupus. Jika pasien tidak memiliki penyakit autoimun secara bersamaan, hal ini merupakan sindrom primer. Sedangkan jika pasien sudah memiliki SLE, hal ini merupakan sindrom sekunder (Dipiro et al., 2008).

2.4 Terapi
Hasil pengobatan yang diinginkan untuk pasien dengan SLE adalah dua hal yaitu (1) mengelola gejala dan menginduksi remisi selama terjadinya lonjakan penyakit dan (2) pemeliharaan remisi selama mungkin diantara lonjakan penyakit. Pendekatan pengobatan pasien dengan SLE diberikan dalam Gambar 2. Karena banyaknya variasi dalam presentasi klinis dari penyakit, pengobatan akan berbeda-beda dan harus sangat individual. Perawatan yang optimal untuk pasien dengan SLE dapat menawarkan pendidikan dan mendukung pelayanan sebagai  tambahan untuk pengobatan nonfarmakologi dan farmakologi yang akan dibicarakan di bawah ini.

Gambar 1. Skema Pendekatan Umum Terapi SLE

·      Terapi Non-Farmakologi
Beberapa langkah nonfarmakologi dapat digunakan untuk mengelola gejala dan membantu mengelola remisi. Fatigue merupakan gejala umum pada pasien dengan lupus. Keseimbangan dalam istirahat dan berolahraga, sambil menghindari kelelahan, sangat penting dalam mengelola fatigue. Menghindari merokok mungkin sangat penting karena hidrazin dalam asap tembakau mungkin menjadi pemicu lupus. Tidak ada diet khusus yang diketahui mempengaruhi perjalanan lupus. Namun, turunan minyak ikan mungkin mencegah keguguran pada wanita hamil dengan antibodi antifosfolipid, tetapi kecambah alfalfa (alfalfa sprouts) harus dihindari karena mengandung asam amino L-canavanine yang diduga mengubah respon sel T dan B dan dapat memperburuk lupus. Banyak pasien dengan SLE akan perlu untuk membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk memblok efek buruk sinar ultraviolet. Jumlah pembatasan paparan sinar matahari bersifat individual (Dipiro et al., 2005).
·       Terapi Farmakologis
Terapi untuk penyangkit Lupus ini dilakukan dengan meningkatkan kekebalan tubuh dan menekan peradangan. Tabel 2. adalah daftar obat dan dosis yang digunakan untuk mengontrol SLE.  Pilihan terapi obat tergantung dari keparahan penyakit. Tabel 85-4 menggambarkan monitoring dari obat yang digunakan untuk LSE
Tabel 2. Drug Treatment of Systemic Lupus Erythrmatous



















Tabel 3. Monitoring Adverse Effect of Drug Commonly Used in SLE




















Obat anti inflamasi nonsteroid
Sebagaimana dibahas sebelumnya Bahwa gejala seperti demam, arthritis, dan
serositis adalah yang paling umum terjadi pada pasien dengan penyakit LSE.
Oleh karena itu, pengobatan pasien dengan gejala awal bisa  diobati dengan anti-inflamasi.  Dosis yang digunakan untuk terapi ini harus diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan efek anti-inflamasi. Akan tetapi obat anti inflamasi dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal apabila digunakan berlebihan hal ini karena obat anti inflamasi
dapat menurunkan aliran darah ginjal dan besar filtrasi di glomerulus (DiPiro et al., 2005).

Obat antimalaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hydroxychloroquine telah digunakan dengan sukses dalam pengelolaan lupus diskoid dan SLE. Secara umum, manifestasi dari SLE yang dapat diobati dengan antimalaria adalah  artralgia,pleuritis, peradangan ringan, kelelahan dan leukopenia. Karena obat ini tidak efektif dengan segera, maka paling baik digunakan dalam jangka panjang. Response terhadap klorokuin adalah 1 sampai 3 bulan, sedangkan efek maksimal hydroxychloroquine mungkin akan terjadi setelah 3 sampai 6 bulan. Dosis dan durasi terapi tergantung pada respon pasien. Saat ini direkomendasikan dosis antimalaria pada SLE adalah hydroxychloroquine 200-400 mg / hari dan klorokuin 250-500 mg / hari. Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala, gugup, insomnia, dermatitis, pigmen perubahan pada kulit dan rambut, gangguan pencernaan , dan toksisitas okular (DiPiro et al., 2005).

Kortikostiroid
Terapi kortikosteroid telah dilakukan  pada pasien dengan  nefritis lupus parah,. Tujuan pengobatan  kortikosteroid pada LSE adalah untuk menekan penyakit dengan menggunakan dosis obat serendah mungkin. Pada pasien dengan  penyakit ringan, terapi dosis rendah  dengan menggunakan prednison 10-20 mg / hari. Untuk pasien dengan penyakit yang lebih berat (anemia hemolitik yang parah atau keterlibatan  jantung) memerlukan dosis obat yang lebih tinggi yaitu 1-2mg/kg prednison per hari (DiPiro et al., 2005).

Obat sitotoksik
Siklofosfamid dan azatioprin biasanya digunakan sebagai imunosupresan bila dikombinasikan dengan kortikosteroid. Meskipun keduanya dikenal untuk menekan dan menstabilkan aktivitas penyakit extrarenal, banyak evaluasi bahwa agen ini telah difokuskan untuk mengobati nefritis lupus. Berdasarkan percobaan terkontrol,kombinasi prednison dan siklofosfamid telah menjadi standar pengobatan untuk lupus nefritis fokal dan difus proliferatif. Cyclophosphamide ditambah corticosteroid akan mempertahankan fungsi ginjal dan mengurangi risiko gagal ginjal. Ketika digunakan dengan kortikosteroid dosis cyclophosphamide adalah 1-3 mg / kg untuk terapi oral dan 0,5-1,0 g/m2 dariluas permukaan tubuh untuk terapi intravena. Rute yang paling umum digunakan adalah siklofosfamid intravena, meskipun ada sedikit bukti bahwa intravena lebih baik dari pemberian oral. Sedangkan Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis 1 sampai 3 mg / kg per hari, dan sering dikombinasikan dengan kortikosteroid untuk penyakit parah. Laporan penggunaan obat sitotoksik lain untuk lupus dalam beberapa tahun terakhir adalah methotrexate,mofetil mycophenolate, mechlorethamine (mustard nitrogen), klorambusil, dan siklosporin (DiPiro et al., 2005).
























BAB III
STUDI KASUS
3.1 Kasus
“Seorang wanita berumur 45 tahun dengan disorientasi akut yang sangat parah sehingga ia tidak bisa mengurus dirinya sendiri (seperti memakai baju maupun mandi).  Wanita tersebut memiliki gejala cepat lelah, demam berkepanjangan, dan bercak merah pada wajah. Pada pemeriksaan sistem saraf tidak ditemukan adanya kelainan, dan pada pemeriksaan laboratorium, termasuk pemeriksaan urin, hasil yang didapatkan adalah normal. Hasil dari pemeriksaan NMR, terdapat tiga lobus frontal dengan penampakan yang karakteristik. Dari hasil laboratorium, paien tersebut didiagnosis mengidap systemic lupus erythematosus (SLE) dengan data pada tabel x. Pasien tersebut diberikan Prednisolone dan terjadi perubahan yang dramatis pada pasien tersebut. Setelah satu minggu, pasien tersebut mampu memakai pakaiannya sendiri dan 10 hari setelah pemberian pasien tersebut telah diperbolehkan pulang ke rumah. Setelah 9 bulan dilakukan tes serologi dan didapatkan positif ANA dengan konsentrasi rendah (1/10), C3 dengan normal (0,77g/L), C4 yang rendah (0,14g/L), dan peningkatan ikatan DNA (68%).”

Table C17.2 Investigations for Case 17.6.

Antinuclear antibody (ANA)
Positive, 1/40
Antineutrophil cytoplasmic antibodies
Negative
DNA binding
High, 91% (normal <30%)
DNA antibodies (IgG)
Positive on Crithidia Iuciliae (titre 1/120)
Serum IgG
14.5g/l (NR 6.0-12.0)
C3
0.54g/l (NR 0.65-1.25)
C4
0.03g/l (NR 0.2-0.5)

3.2 Pembahasan Kasus
a. 4T 1W
·        Tepat Indikasi
Pasien terdiagnosis mengalami SLE dengan gejala kelumpuhan pada sendi, arthritis, dan ruam kulit kupu-kupu. Untuk pengobatan pada kasus SLE ini digunakan prednisolone, yang sudah sesuai dengan indikasi pasien. Prednisolone merupakan golongan kortikosteroid, yang memiliki efek glukokortikoid dan mineralokortikoid. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002).

·      Tepat Obat
Pada kasus diatas tidak disebutkan kondisi pasien secara spesifik, sehingga tidak diketahui apakah pasien tersebut mampu menelan obat melalui PO atau tidak. Apabila pasien mampu menelan obat melalui mulut, maka terapi yang diberikan sudah tepat obat. Apabila pasien tidak mampu menelan obat, untuk memenuhi terapi tepat obat, maka rute pemberian obat dapat diubah menjadi intralessional dan intraartikular dengan dosis yang disesuaikan.

·      Tepat Pasien
Pada kasus yang didapat, penderita tidak mengalami tukak lambung, osteoporosis, TBC dan infeksi akut, sehingga dilihat dari sisi ketepatan pasien, pemberian obat-obat kortikosteroid sudah sesuai dengan pasien yang terdiagnosis SLE.

·      Tepat dosis
Pada kasus yang didapat, tidak diketahui dosis yang diberikan kepada pasien. Berdasarkan literatur yang ada, dosis yang disarankan untuk pengobatan adalah 200 mg/hari dan setelah satu minggu dosisnya diturunkan menjadi 80mg/hari dan dikonsumsi selama satu bulan. Untuk pemakaian secara intraartikular dan intralessional, dosis yang dianjurkan adalah 4-100 mg.

·      Waspada Efek Samping
Karena penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi, diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Selain itu kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Efek samping lain karena penggunaan kortikosteroid adalah osteoporosis karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium. Oleh karena itu pada pasien SLE, terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D.

b. Konseling, Informasi, Edukasi
·           Penderita dianjurkan menghindari stress
·           Penderita disarankan mengurangi beban kerja yang berlebihan
·           Penderita dianjurkan menghindari pemakaian obat tertentu
·           Hindari kontak sinar matahari secara langsung terutama pada jam 8 pagi hingga 3   sore.
·           Kurangi asupan lemak untuk menigkatkan penyerapan kalsium.
·           Hindari sumber radikal bebas dan konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai
·           Kurangi berat badan
·           Minum sekurang-kurangnya 1,5-2 L air/hari.






BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
·        Systemic Lupus Erythrmatosus (SLE) adalah penyakit autoimun pada manusia normal, dimana tubuh akan memprodukasi antibody yang berlebihan. Antibodi yang berlebihan ini tidak bisa membedakan antigen dengan sel dan jaringan yang terdapat dalam tubuh, sehingga antibody juga menyerang jaringan dan sel tubuh, yang menyebabkan timbulnya peradangan pada sel atau jaringan dalam tubuh.
·        Gejala pada penyakit lupus umumnya tidak spesifik seperti ruam pada kulit wajah, demam, nyeri sendi, kelelahan, dan penurunan berat badan.
·        Terapi pengobatan SLE dapat dilakukan secara non farmakologis salah satunya dengan menghindari kontak langsung dengan sinar UV, dan  pengobatan secara farmakologis dengan menggunakan obat golongan NSAID, kortikosteroid, dan anti malar.


















DAFTAR PUSTAKA

Ehrenpreis, Seymour and Ehrenpresis, Eli. 2001. Clinician’s Handbook of Prescription Drugs. McGrawHill : Medical Publishing Devision

Joseph T. DiPiro et al. 2005. Pharmacoterapy A Pathophysiologic Approach sixth edition. McGrawHill : Companies Inc. USA

Joseph T. DiPiro et al. 2008. Pharmacoterapy A Pathophysiologic Approach seventh edition. McGrawHill : Companies Inc. USA

Joe. 2009. Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES). Available at: http://perawattegal.wordpress.com


Sweetman, Sean C. 2002. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Third Edition. London Chicago: Pharmaceutical Press.

4 komentar:

Chaca Chairunnisa mengatakan...

Kuliah ambil jurusan Farmasi, ya? :O

Indra Lesmana mengatakan...

iya, kanapa? :)

Alex Budidaya Jamur Tiram mengatakan...

Mas Indra salam kenal mas kerjasama boleh ya ...aq liat blog nya sangat bermanfaat jadi sekaligus sebagai donatur agar kegiatan nulis blognya tambah semangat ....what must to do just post article yang nantinya aq support ...

Sekali lagi salam kenal untuk rekan sejawatku

Unknown mengatakan...

Kak tau gak obat hidroklorokuin tempat jualnya dimana

Posting Komentar

 
;