1. Pengertian
A.Preeklampsia
Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan perkembangan plasenta, dimana digambarkan disuatu kehamilan hanya terdapat trofoblas namun tidak terdapat jaringan fetus (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase kedua invasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan normal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta makin meningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis sebagai preeklampsia. Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu ditinjau kembali. Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria ( didefinisikan sebagai › 300 mg/24 jam atau ≥ +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema yang bermakna.
B. Eklampsia
Eklampsia ditandai dengan terjadinya kejang umum dan atau koma pada preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologik lainnya. Dahulu, eklampsia dikatakan sebagai hasil akhir dari preeklampsia, sesuai dengan asal katanya. Penyebab pasti dari kejang pada wanita dengan eklampsia tidak diketahui. Penyebab yang dikemukakan meliputi vasospasme serebral dengan iskemia lokal, hipertensi ensefalopati dengan hiperperfusi, edema vasogenik dan kerusakan endotelial. Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam deteksi dan penatalaksanaan, preeklampsia/eklampsia tetap menjadi penyebab umum kematian ibu yang kedua di Amerika Serikat ( sesudah penyakit tromboemboli), sekitar 15 % dari seluruh kematian. Bahkan, diperkirakan 50.000 kematian maternal di seluruh dunia disebabkan oleh eklampsia.
2. Epidemiologi dan insiden
Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna, nulipara, dan golongan sosial ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia remaja atau awal 20-an, tetapi prevalensinya meningkat pada wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada kehamilan mola atau sindroma antifosfolipid.
Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif stabil, 4-5 kasus /10.000 kelahiran hidup di negara maju. Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100/ 10.000 kelahiran hidup.
3. Manifestasi klinis dan diagnosis
Diagnosis klinis eklampsia didasarkan pada timbulnya kejang umum dan atau koma pada wanita dengan preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologis lainnya. Kejang eklampsia hampir selalu hilang sendiri dan jarang terjadi lebih dari 3-4 menit. Kejang eklamptik secara klinis dan elektroensefalografik tidak dapat dibedakan dari kejang tonik klonik umum lainnya. Secara umum, wanita dengan kejang eklamptik tipikal tanpa defisit neurologik fokal atau koma yang berlangsung lama, tidak dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan elektroensefalografik atau pencitraan serebral.
Sekitar separuh dari seluruh kasus eklampsia terjadi sebelum aterm, lebih dari 20% terjadi sebelum kehamilan 31 minggu. Tiga perempat dari kasus terjadi pada kehamilan aterm, berkembang saat intrapartum atau selama 48 jam postpartum. Kejang karena eklampsia dapat muncul kembali pada saat postpartum. Sering selama beberapa jam sampai beberapa hari post partum. Diuresis (> 4 L/ hari) diyakini sebagai indikator klinis yang paling akurat dari pulihnya preeklampsia atau eklampsia, tetapi hal ini tidak menjamin tidak berulangnya kejang. Dapat pula terjadi eklampsia postpartum lanjut (kejang eklamptik yang berkembang > 48 jam postpartum, namun < 4 minggu postpartum) pada 25% kasus postpartum dan > 16% dari seluruh kasus eklampsia.
4. Penatalaksanaan Terapi
Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah komplikasi eklampsia terhadap ibu dan janin selama periode peripartum. Cara terbaru pada penatalaksanaan wanita dengan eklampsia meliputi beberapa aspek, yaitu mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang dan mengontrol tekanan darah, mencegah kejang berulang dan evaluasi untuk persalinan. Bila terjadi kejang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring ke kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam mulutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Analisa (4T + 1W)
Berdasarkan data pasien tersebut diketahui bahwa pasien tersebut mengalami kejang sebanyak dua kali dengan tekanan darah pada saat pertama kali masuk ke rumah sakit adalah 188/140 mmHg, disertai dengan edema paru – paru dan cerebral, dimana dikenal dengan eklampsia klasik.
Obat-obat terpilih untuk mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat (MgSO4). Pada wanita yang telah mendapat pengobatan MgSO4 profilaksis, kadar magnesium plasma harus dipertahankan dengan pemberian infus MgSO4 1-2 gram secara cepat. Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6 gram MgSO4 secara cepat, diulang setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan untuk diberikan pada ibu-ibu dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja MgSO4 dalam mereduksi kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme kerja MgSO4 adalah memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak juga memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal bebas, mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau memiliki efek antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-D–aspartat (yang merupakan fokus epileptogenik). Berdasarkan data pasien penggunaan MgSO4 merupakan obat yang tepat digunakan sebagai penanggulangan kejang pada pasien.
Sementara itu furosemid mempertinggi pengeluaran garam dan air, sehingga volume darah dan TD menurun. Di samping itu diperkirakan adanya khasiat langsung terhadap dinding pembuluh, yaitu dengan turunnya kadar natrium, maka dinding menjadi lebih kebal terhadap noradrenalin hingga daya tahannya berkurang (Tjay dan Raharja, 2007). Dengan tingginya pengeluaran natrium, air dan klorida maka dapat menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah, selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influk kalsium.
Nifedipin dapat bekerja secara cepat (long acting) sebagai antagonis kalsium. Pada umumnya dosis yang digunakan yaitu 10 mg oral dalam 30 menit x 2 dosis: kemudian 10-20 mg peroral per 4-6 jam. Nifedipin merupakan vasodilator perifer yang kuat sehingga menyebabkan pelepasan simpatetik refleks, pusing, sakit kepala, flushing, dan edema perifer. Nifedipine short acting juga digunakan tetapi tidak disetujui oleh FDA untuk hipertensi karena berpotensi berbahaya yang dapat menurunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan efek samping terhadap fetus dan ibu (hipotensi dengan fetal distress, infard miokard dan stroke).
Dexamethason merupakan golongan Kortikosteroid yang memiliki efek anti inflamasi yang luas dengan menghambat semua fase respon inflamasi termasuk pembengkakan, kemerahan dan sakit serta proliferasi pada inflamasi kronik. Pasien yang menjalankan terapi dexamethason adalah ibu mengandung yang kondisinya stabil atau ibu yang sedang dalam kondisi postpartum. Terapi ini bertujuan untuk mematangkan paru paru pada janin. Untuk terapi ini deksametason diberikan 12 mg secara intramuskular setiap 12 jam, Tujuannya adalah untuk memperpanjang kehamilan selama minimal 48 jam untuk mencapai kematangan janin. Dexametason juga digunakan untuk terapi edema yang disebabkan karena eklampsia. Dexamethason merupakan pilihan utama karena efek antiinflammasi yang besar dan tidak didapatkan efek retensi natrium.Dexamethason sangat efektif pada edema vasogenik akibat tumor. Dosis yang diberikan 0,1 – 0,2 mg/kg/6jam.
Pada pasca persalinan diperlukan terapi antibiotik untuk mencegah dan mengurangi terjadinya infeksi. Salah satu antibiotik yang biasa digunakan dalam terapi pada kehamilan adalah Golongan Sefalosforin ( Seftriakson). Ceftriaxone sodium diindikasikan untuk pengobatan dari infeksi yang disebabkan oleh organismyangsensitive Infeksi Saluran Pernapasan bawah disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Haemophilus parainfluenzae, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, aerogenes Enterobacter, Proteus mirabilis atau Serratia. Sehingga dapat dikatakan penggunaan Sefalosforin merupakan obat yang tepat untuk pasien ini berdasarkan indikasi yang diberikan oleh Sefalosforin. Dosis lazim obat ini ialah 1-2 gram/hari IM atau IV dalam doisis tunggal atau dibagi dalam dua dosis. Sedangkan dosis yang diberikan pada pasien yaitu 2 gram preoperative dan 2 gram postoperative serta 2 gram/hari selama masa observatif. Sehingga dapat dikatakan penggunaan Sftriakson pada terapi ini sudah tepat dosis. Diberikan 2 gram Seftriakson sebelum dan setelah operasi bertujuan untuk mencegah dan mengurangi infeksi yang dapat terjadi selama pembedahan sehingga resiko infeksi dapat dihindarkan. (Istiantoro YH dkk, 1995)
2.2 Monitoring Obat
Untuk mengukur efektivitas terapi, hal-hal berikut harus di monitor :
Monitoring penggunaan obat dapat diamati pada data pasien sebelum dan setelah menjalani terapi. Pada saat hari pertama pasien diberikan furosemid dengan dosis 3 x 1 ampul (20mg), keseimbangan cairan di dalam tubuh dapat terjaga. Hal ini menunjukan terapi dengan furosemid telah memberikan efek diuresis dan penurunan tekanan darah pada pasien.
Pemberian dexamethason pada edema sitotoksik masih kontroversi dan tidak memberikan efek yang menguntungkan, demikian juga dengan udema karena trauma dan stroke.
Monitoring penggunaan obat dapat diamati pada data pasien sebelum dan setelah menjalani terapi. Pada saat hari pertama pasien diberikan nifedipine dengan dosis 10 mg oral dalam 30 menit x 2 dosis: kemudian 10-20 mg peroral per 4-6 jam. Hal ini menunjukan terapi dengan nifedipin telah menurunan tekanan darah pada pasien dalam waktu 48 jam.
Monitoring penggunaan Seftriakson dapat diamati pada data pasien sebelum dan setelah menjalani terapi. Dosis Seftriakson yang diberikan pada pasien yaitu 2 gram preoperative dan 2 gram postoperative serta 2 gram/hari selama masa observatif. Dari data yang diperoleh tidak dilaporkan adanya infeksi sehingga dapat dikatakan terapi dengan obat ini efektif.
2.3 KIE
Kedaruratan hipertensi dalam kehamilan merupakan suatu tantangan klinis yang sangat bermakna. Langkah pertama yang terpenting dalam penatalaksanan hipertensi krisis adalah untuk menurunkan tekanan darah, namun menurunkan tekanan darah secara tiba-tiba harus dihindari. Idealnya penurunan tekanan darah yang pertama kali adalah 20 %, dengan target untuk sistolik 140-150 mmHg dan diastolic 90-100 mmHg, sehingga hasilnya akan sangat membantu dalam memperbaiki keadaan pasien. Hipertensi yang refrakter dalam terapi klinis merupakan indikasi penting untuk melakukan terminasi kehamilan, dan untuk kasus-kasus yang ekstrim, seksio sesarea perimortem perlu dilakukan.
Bila terjadi kejang, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring ke kiri dan penahan lidah diletakkan di dalam mulutnya. MgSO4 lebih hemat dan lebih baik daripada litik koktail (terdiri dari prometazin hidroklorid, klorpromazin dan meperidin hidroklorid) untuk mencegah pengulangan kejang pada wanita eklampsia. Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah, cara pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung) dan lebih sedikit efek sedasi dari pada diazepam dan fenitoin. Magnesium juga tampak secara selektif meningkatkan aliran darah serebral dan konsumsi oksigen pada wanita dengan preeklampsia.
Untuk penggunaan furosemid harus diperhatikan nilai atau kandungan kadar kalium dalam tubuh, karena merupakan diuretic yang tidak hemat kalium. Furosemid bekerja dengan mengatasi edema pada paru – paru,sehingga keseimbangan volume cairan tubuh terjaga sehingga beban jantung dalam bekerja akan lebih ringan dan tekanan darah dapat diturunkan secara perlahan.
Efek samping dari pemberian dexamethason mengakibatkan efek katabolik steroid seperti kehabisan protein, osteoporosis dan penghambatan pertumbuhan anak. Penimbunan garam, air dan kehilangan potassium jarang terjadi bila dibandingkan dengan beberapa glucocorticoid lainnya. Penambahan nafsu makan dan berat badan lebih sering terjadi. Untuk kasus ibu hamil diberikan dengan dosis yang serendah-rendahnya karena akan terjadi hypoadrenalism.
Nifedipine dalam pengobatan hipertensi berpotensi berbahaya yang dapat menurunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan efek samping terhadap fetus dan ibu yaitu pelepasan simpatetik refleks, pusing, sakit kepala, flushing, dan edema perifer hipotensi dengan fetal distress, infard miokard dan stroke.
Penggunaan antibiotik dalam terapi seringkali menimbulkan efek samping. Efek samping yang biasa ditimbulkan oleh Seftriakson yaitu seizure (kejang), nyeri perut, diare, mual, fotosensitifitas, rash (iritasi pada kulit), Steven johnson syndrome dan insomnia. Efek samping ini harus diatasi agar tidak menjadi fatal dan membahayakan pasien. Penanggulangan terhadap gejala-gejala efek samping dari Sefalosforin ini adalah dengan pemberian obat sekunder yg dapat mengurangi gejala yg ditimbulkan tersebut tanpa menyebabkan interaksi dengan Sefalosforin ini. Selain itu juga diberikan makanan-makanan tertentu yang dapat menanggulangi efek samping yang ditimbulkan Sefalosforin. Interaksi obat yang terjadi juga harus diperhatikan karena jika terjadi interaksi dengan obat lain akan mengakibatkan toksisitas yang tentunya membahayakan pasien. Sefalosforin mengalami interaksi obat bila diberikan bersamaan dengan Gentamisin dari golongan aminoglikosida dimana akan terjadi nefrotoksisitas. (Stockley I., 1994). Sehingga penggunaan Sefalosforin dengan Gentamisin secara bersamaan harus dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Pangemanan,Wim. 2002. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Bagian Obstetri Dan Ginekologi RSMH / FK UNSRI: Palembang
Tan Hoan Tjay, Rahardja, K. 2002. Obat- Obat Penting. edisi ke-5 cetakan ke-2. Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia : Jakarta
Departemen Kesehatan. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan: Jakarta
Stockley I. (1994). Drug Interactions A Source Book of Adserve Interactions, Their Mechanism, Clinical Importance and Management (3rd ed.).,University of Nottingham Medical School.,England
Istiantoro YH, Ganiswarna Vincent HS.1995.Penisilin, sefalosporin, dan atibiotik betalaktam lainnya dalam farmokolgi dan terapi edisi 4.Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar