PENENTUAN KADAR CAMPURAN PARASETAMOL DAN TEOFILIN
SECARA SIMULTAN
I. TUJUAN
1. Membuat kurva absorpsi campuran dua zat.
2. Menentukan panjang gelombang pengukuran.
3. Menentukan absortivitas molar kedua zat pada setiap panjang gelombang pengukuran.
4. Menentukan kadar zat campuran secara simultan.
II.DASAR TEORI
Kadar larutan campuran dua zat dapat ditentukan dengan metode spektrofotometri tanpa harus dipisahkan lebih dahulu. Kedua zat harus memiliki panjang gelombang maksimum yang tidak berimpit. Absorpsi larutan sampel atau campurannya pada panjang gelombang pengukuran merupakan jumlah absorpsi dari masing-masing zat tunggalnya. Kadar masing-masing zat ditentukan menggunakan metode simultan (Widjaja dan Laksmiani, 2010).
Jika absorbansi suatu seri konsentrasi larutan diukur pada panjang gelombang, suhu, kondisi pelarut yang sama, dan absorbansi masing-masing larutan diplotkan terhadap konsentrasinya, maka suatu garis lurus akan teramati sesuai dengan persamaam A=abc. Grafik ini disebut dengan plot hukum Lambert-Beer dan jika garis yang dihasilkan merupakan suatu garis lurus maka dapat dikatakan bahwa hukum Lambert-Beer dipenuhi pada kisaran konsentrasi yang diamati (Gandjar dan Rohman, 2007).
Bila diinginkan dua buah senyawa secara bersama-sama secara spektrofotometri, maka dapat dilakukan pada dua panjang gelombang yang mana masing-masing komponen tidak saling mengganggu atau gangguan dari komponen yang lain paling kecil. Dua buah kromofor yang berbeda akan mempunyai kekuatan absorbsi cahaya yang berbeda pula pada satu daerah panjang gelombang. Pengukuran dilakukan pada masing-masing larutan pada dua panjang gelombang sehingga diperoleh dua persamaan hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi pada dua panjang gelombang, akibatnya konsentrasi masing-masing komponen dapat dihitung. Mula-mula dipilih panjang gelombang yang mana perbandingan absorptivitas maksimum, yaitu : maksimum pada λ1 dan maksimum pada λ2 (Gandjar dan Rohman, 2007).
(Spektra dua buah senyawa, senyawa I dan senyawa II)
Absorban jumlah suatu campuran beberapa senyawa yang mengabsorpsi pada masing-masing panjang gelombang merupakan jumlah absorban masing-masingnya. Pada campuran dua komponen akan terlihat absorban yang diukur pada λ1 serta λ2 merupakan jumlah dari absorban komponen tunggal pada panjang gelombang tersebut. Hal ini memungkinkan untuk pemeriksaan kemurnian senyawa obat secara spektrofotometri serta penentuan campuran beberapa komponen (Rot dan Blaschke, 1985).
Dari hukum Lambert-Beer, dapat diketahui bahwa absorbansi berbanding lurus dengan absortivitas (a), tebal kuvet (b), dan konsentrasi (c). Supaya nilai b tetap maka selama pengukuran digunakan kuvet yang sama.
Absorbansi senyawa 1, A1= a1b1c1......................(1)
Absorbansi senyawa 1, A1= a2b2c2......................(2)
Selama kuvet yang digunakan sama, maka nilai b tetap sehingga persamaan 1 dan 2 menjadi persamaan 3 dan 4.
A1= a1c1.......................(3)
A2= a2c2.......................(4)
Pengukuran campuran 2 senyawa dilakukan baik pada panjang gelombang 1 (λ1) maupun pada panjang gelombang 2 (λ2), oleh karena itu absorbansi pada kedua panjang gelombang tersebut merupakan jumlah dari absorbansi senyawa 1 dan absorbansi senyawa 2, yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
Aλ1= (a1c1)λ1 + (a2c2)λ2.......................(5)
Aλ2= (a1c1)λ2 + (a2c2)λ1.......................(6)
Keterangan: nilai a (absortivitas) dapat juga diganti dengan absorptivitas molar.
Yang mana:
C1 : konsentrasi senyawa 1
C2 : konsentrasi senyawa 2
(a1) λ1 : absorpsivitas senyawa 1 pada panjang gelombang pertama
(a2) λ2 : absorpsivitas senyawa 1 pada panjang gelombang kedua
(a2) λ1 : absorpsivitas senyawa 2 pada panjang gelombang pertama
(a2) λ2 : absorpsivitas senyawa 2 pada panjang gelombang kedua
Aλ1 : absorbansi senyawa campuran pada panjang gelombang pertama
Aλ2 : absorbansi senyawa campuran pada panjang gelombang kedua (Gandjar dan Rohman, 2007).
Spektrofotometri UV-Vis termasuk salah satu metode analisis instrumental yang frekuensi penggunaannya paling banyak serta merupakan instrumental yang banyak ditemukan dalam laboratorium kimia analisis. Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi elektronik yang besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif (Widjaja dkk, 2008).
Spektra UV-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.
1. Aspek kualitatif
Data spektra UV-Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektrofotometri inframerah, resonansi magnet inti, dan spektroskopi massa, maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi atau analisis kualitatif suatu senyawa terebut. Data yang diperoleh dari spektroskopi UV dan Vis adalah panjang gelombang maksimal, intensistas, efek, pH dan pelarut. Yang kesemuanya itu dpat diperbandingkan dengan data yang sudah dipublikasi. Dari spektra yang diperoleh dapat dilihat, misalnya :
- Serapan (absorbansi) berubah atau tidak karena perubahan pH. Jika berubah, bagaimana perubahannya apakah dari batokromik ke hipsokromi dan sebaliknya atau dari hipokromik ke hiperkromik, dan sebagainya.
- Obat-obat yang netral misalnya kafein, kloramfenikol; atau obat-obat yang berisi auksukrom yang tidak terkonjugasi seperti amfetamin, siklizin, dan penisiklidin.
2. Aspek kuantitatif
Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap lainnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang melalui satu satuan luas penampang per detik. Serapan dapat terjadi jika foton atau radiasi yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga mengalami penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi penurunan karena hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan (Gandjar dan Rohman, 2007).
III. ALAT DAN BAHAN
v Alat
- Labu takar 25 ml
- Labu takar 100 ml
- Pipet volume 1 ml
- Pipet volume 5 ml
- Pipet volume 10 ml
- Pipet ukur 1 ml
- Pipet ukur 5 ml
- Pipet ukur 10 ml
- Gelas viala
- Spektrofotometer
- Pipet tetes
- Botol semprot
- Tissue
- Lap pel
- Kuvet 1 cm
v Bahan
- Parasetamol padat
- Aquades
IV. CARA KERJA.
1. Penyiapan Larutan
a. Larutan stok baku parasetamol dan teofilin
- Masing-masing 10 mg parasetamol dan 10 mg teofilin ditimbang
- Masing-masing dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml
- Dilarutkan dalam aquades dan volume digenapkan sampai tanda
b. Larutan siap baku parasetamol dan teofilin
- Dipipet sebanyak 1,0 ml larutan stok parasetamol dan 1,0 ml teofilin
- Masing-masing dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml
- Aquades ditambahkan sampai tanda batas
2. Pengukuran
a. Menghidupkan Spektrofotometer GENESYSTM 10
Alat dihidupkan dengan menekan tombol “ON/OFF” (1=ON, 0=OFF)
b. Pengukuran larutan blanko dan larutan sampel
- Absorban larutan baku tunggal dan campuran parasetamol dan teofilin diukur pada rentang panjang gelombang 200-300 nm
- Panjang gelombang maksimum parasetamol dan teofilin ditentukan
- Absorban larutan sampel diukur pada kedua panjang gelombang maksimumnya.
V. DATA PENGAMATAN
Λ (nm)
|
Teofilin
|
Paracetamol
|
Campuran
|
Sampel
|
220
|
0,288
|
0,307
|
0,612
| |
223
|
0,264
|
0,323
|
0,606
| |
226
|
0,242
|
0,341
|
0,604
| |
229
|
0,224
|
0,363
|
0,612
| |
232
|
0,208
|
0,383
|
0,615
| |
235
|
0,187
|
0,433
|
0,630
| |
238
|
0,183
|
0,480
|
0,650
| |
241
|
0,193
|
0,503
|
0,666
| |
244
|
0,209
|
0,508
|
0,675
|
0,607
|
247
|
0,231
|
0,503
|
0,683
| |
250
|
0,253
|
0,489
|
0,685
| |
253
|
0,289
|
0,456
|
0,688
| |
256
|
0,336
|
0,404
|
0,687
| |
259
|
0,383
|
0,327
|
0,689
| |
262
|
0,408
|
0,273
|
0,688
| |
265
|
0,420
|
0,216
|
0,691
| |
268
|
0,418
|
0,185
|
0,688
| |
271
|
0,418
|
0,164
|
0,678
|
0,664
|
274
|
0,412
|
0,149
|
0,660
| |
277
|
0,394
|
0,136
|
0,624
| |
280
|
0,359
|
0,122
|
0,568
| |
283
|
0,302
|
0,106
|
0,474
| |
286
|
0,219
|
0,089
|
0,349
| |
289
|
0,134
|
0,071
|
0,216
| |
292
|
0,081
|
0,056
|
0,131
| |
295
|
0,054
|
0,045
|
0,083
| |
298
|
0,041
|
0,036
|
0,059
|
VI. PERHITUNGAN
Diketahui :
BM Paracetamol : 151,16 g/mL
BM Teofilin : 198,18 g/mL
PARACETAMOL :
Kadar larutan stok baku paracetamol = 1 mg/mL
= 1.103 µg/mL
Kadar larutan siap ukur paracetamol = 2,5 µg/mL
= 2,5 . 10-3 mg/mL
Volume larutan baku yang diambil :
V lar.stok x Konsentrasi lar.stok = V siap ukur x Konsentrasi siap ukur
V lar.stok x 1.103 µg/mL = 10 mL x 2,5 µg/mL
V lar.stok = 25 µg / 1.103 µg/mL
= 0,025 mL
Konsentrasi (M) paracetamol =
=
= 1,6538 . 10-5 M
TEOFILIN
Kadar larutan stok baku teofilin = 2,1 mg/mL
= 2,1.103 µg/mL
Kadar larutan siap ukur paracetamol = 8 µg/mL
= 8 . 10-3 mg/mL
Volume larutan baku yang diambil :
V lar.stok x Konsentrasi lar.stok = V siap ukur x Konsentrasi siap ukur
V lar.stok x2, 1.103 µg/mL = 10 mL x 8 µg/mL
V lar.stok = 80 µg / 2,1.103 µg/mL
= 0,038 mL
Konsentrasi (M) teofilin =
=
= 4,0367. 10-5 M
SAMPEL
Konsentrasi paracetamol siap ukur = 3 µg/mL
Konsentrasi teofilin siap ukur = 7,5 µg/mL
Volume larutan baku paracetamol yang diambil :
V lar.stok x Konsentrasi lar.stok = V siap ukur x Konsentrasi siap ukur
V lar.stok x 1.103 µg/mL = 10 mL x 3 µg/mL
V lar.stok = 30 µg / 1.103 µg/mL
= 0,03 mL
Volume larutan baku teofilin yang diambil :
V lar.stok x Konsentrasi lar.stok = V siap ukur x Konsentrasi siap ukur
V lar.stok x2, 1.103 µg/mL = 10 mL x 7,5 µg/mL
V lar.stok = 75 µg / 2,1.103 µg/mL
= 0,0357 mL
Panjang gelombang maksimum parasetamol = 244 nm
~ Absorban parasetamol = 0,508
~ Absorban teofilin = 0,209
~ Absorban campuran = 0,675
~ Absorban sampel = 0,607
Panjang gelombang maksimum teofilin = 271 nm
~ Absorban parasetamol = 0,164
~ Absorban teofilin = 0,418
~ Absorban campuran = 0,678
~ Absorban sampel = 0,664
ε parasetamol pada l 244 nm
A = ε . b . c
0,508 = ε . 1cm . 1,6538 x 10-5 M
ε =
ε = 30717,1363 M-1 cm-1
ε teofilin pada l 244 nm
A = ε . b . c
0,209 = ε . 1cm . 4,0367 x10-5 M
ε =
ε = 5177,4965 M-1 cm-1
ε parasetamol pada l 271 nm
A = ε . b . c
0,164 = ε . 1cm . 1,6538 x 10-5 M
ε =
ε = 9916,5558 M-1 cm-1
ε teofilin pada l 271 nm
A = ε . b . c
0,418 = ε . 1cm . 4,0367 x10-5 M
ε =
ε = 10354 ,9929 M-1 cm-1
Menentukan kadar masing-masing komponen dalam sampel
Absorban sampel pada panjang gelombang pengukuran merupakan jumlah absorpsi masing-masing zat tunggalnya, maka:
A sampel pada l 244 nm = A parasetamol pada l 244 nm
+ A teofilin pada l 244 nm
0,607 = ε P l 244 nm . b . cP + ε T l 244 nm . b . cT
0,607 = 30717,1363 . 1cm . cP + 5177,4965 . 1cm . cT
0,607 =30717,1363 . cP +5177,4965 cT ............(persamaan 1)
A sampel pada l 271 nm = A parasetamol pada l 271 nm
+ A teofilin pada l 271 nm
0,664 = ε P l 271 nm . b . cP + ε T l 271 nm . b . cT
0,664 = 9916,5558. 1cm . cP + 10354,9929. 1cm . cT
0,664 =9916,5558. cP + 10354,9929 cT .............(persamaan 2)
Untuk mengetahui kadar masing-masing zat dalam sampel, 2 persamaan yang diperoleh dieliminasi:
0,607 =30717,1363 . cP +5177,4965 cT x 9916,5558
0,664 = 9916,5558. cP + 10354,9929 cT x 30717,1363
6019,3494 = 304608196,1cP + 51342932,95cT
20396,1785 = 304608196,1 cP + 318075728,3 cT
-14376,8291= 0 cP + (-266732795,4) cT
266732795,4 cT = 14376,8291
cT =
cT =5,3899 . 10-5 M
Jadi konsentrasi teofilin dalam sampel adalah 5,3899 . 10-5 M
Untuk mendapatkan konsentrasi paracetamol maka nilai cT dimasukkan ke dalam persamaan 1 :
0,607 =30717,1363 . cP +5177,4965 cT
0,607 =30717,1363 . cP +5177,4965 (5,3899 . 10-5 )
0,607 =30717,1363 . cP +0,2791
cP =
cP = 1,0675 . 10-5 M
Jadi konsentrasi parasetamol dalam sampel adalah 1,0675.10-5 M
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, dilakukan penentuan kadar sampel dengan metode simultan, kadar larutan campuran dua zat dapat ditentukan dengan metode spektrofotometri tanpa harus dipisahkan terlebih dahulu. Kedua zat harus memiliki panjang gelombang yang tidak berhimpit. Larutan yang akan diukur kadarnya yaitu larutan paracetamol dengan konsentrasi larutan 2,5 µg/mL dan larutan teofilin dengan konsentrasi 8 µg/mL untuk larutan tunggalnya, sedangkan untuk sampel yaitu larutan paracetamol dengan konsentrasi 3 µg/mL dan larutan teofilin dengan konsentrasi 7,5 µg/mL. Larutan baku paracetamol dengan konsentrasi 1 mg/mL diambil sebanyak 0,025 mL dan dilarutkan dalam akuades hingga volume larutan mencapai 10 mL, dan dilakukan pengukuran pada panjang gelombang 220-300 nm. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap teofilin yaitu dengan mengambil larutan baku dengan konsentrasi 2,1 mg sebanyak 0,038 mL dan dilarutkan dengan akuades hingga 10 mL, akan tetapi karena pengukuran 0,038 mL sangat susah maka dibulatkan menjadi 0,04 mL.. Pengukuran nilai absorbansi larutan tunggal ini akan digunakan dalam menentukan panjang gelombang maksimum dari masing-masing larutan, yaitu 244 nm untuk paracetamol dengan nilai absorbansi 0,508 dan 271 nm dengan nilai absorbansi 0,418 untuk teofilin.
Selanjutnya dibuat campuran larutan dengan konsentrasi yang sama yaitu 2,5 µg/mL untuk paracetamol dan 8 µg/mL untuk teofilin dan diukur pada panjang gelombang 220-300 nm. Pada panjang gelombang maksimum paracetamol yaitu 244 nm didapatkan nilai absorbansi campuran sebesar 0,675 sedangkan pada panjang gelombang maksimum teofilin didapatkan nilai absorbansi campuran sebesar 0,678.
Dari pengukuran tersebut diperoleh suatu kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang, selain itu juga diperoleh panjang gelombang maksimum dari masing-masing zat. Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang yang memberikan nilai absorban paling besar. Pengukuran dipilih pada panjang gelombang maksimum karena pada titik ini sensitivitasnya maksimum (perubahan absorpsi sampel per unit konsentrasi adalah terbesar). Selain itu, pada panjang gelombang maksimum perubahan absorban yang disebabkan oleh perubahan panjang gelombang adalah minimal. Dengan demikian keakuratan dari hukum Lambert-Beer semakin terpenuhi.
Untuk mengetahui kadar parasetamol dan teofilin pada larutan sampel perlu diketahui dahulu Absorbtivitas molar (ε) pada masing-masing larutan parasetamol dan larutan teofilin. Absorbtivitas molar (ε) pada larutan parasetamol yang diperoleh pada panjang gelombang 244 nm adalah 30717,1363 Mcmdan absorbtivitas molar (ε) parasetamol pada panjang gelombang 271 nm adalah 9916,5558 Mcm. Absorbtivitas molar (ε) larutan teofilin pada panjang gelombang 244 nm adalah 5177,4965 Mcmdan absorbtivitas molar (ε) pada panjang gelombang 271 nm adalah 10354 ,9929 Mcm.
Setelah didapatkan nilai absorbtivitas dari masing-masing larutan dilanjutkan dengan penentuan nilai konsentrasi dari sampel. Dari hasil perhitungan, diperoleh konsentrasi larutan parasetamol pada sampel adalah 1,0675.10-5 M dan konsentrasi larutan teofilin pada sampel adalah5,3899.10-5 M. Konsentrasi parasetamol dan teofilin yang diperoleh dalam sampel ditentukan dengan cara simultan.
VIII. KESIMPULAN
1. Kurva yang dibuat yaitu kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelambang dari sampel. Kedua zat harus memiliki panjang gelombang maksimum yang tidak berimpit. Absorpsi larutan campurannya pada panjang gelombang pengukuran merupakan jumlah absorpsi dari masing-masing zat tunggalnya.
2. Panjang gelombang maksimum yang didapat selama pengukuran yaitu 244 nm untuk paracetamol dan 271 nm untuk teofilin.
3. Adapun nilai absorbtivitas molar (ε) yang didapat dari masing-masing larutan yaitu pada larutan parasetamol yang diperoleh pada panjang gelombang 244 nm adalah 30717,1363 Mcmdan absorbtivitas molar parasetamol pada panjang gelombang 271 nm adalah 9916,5558 Mcm. Absorbtivitas molar larutan teofilin pada panjang gelombang 244 nm adalah 5177,4965 Mcmdan absorbtivitas molar pada panjang gelombang 271 nm adalah 10354 ,9929 Mcm.
4. Kadar dari campuran yang didapatkan dari sampel setelah dilakukan pengukuran secara simultan yaitu konsentrasi larutan parasetamol pada sampel adalah 1,0675.10-5 M dan konsentrasi larutan teofilin pada sampel adalah 5,3899.10-5 M.
DAFTAR PUSTAKA
Gandjar, Ibnu Gholib., Abdul Rohman. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rot,Hermann J.,dan Gottfried Balsschke . 1985 . Analisis Farmasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Widjaja, I.N.K., K.W. Astuti., N.M.P. Susanti., & I.M.A.G. Wirasuta. 2008. Buku Ajar Analisis Farmasi Fisiko Kimia. Jimbaran : Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Udayana.
Widjaja, I.N.K., dan N. P. L. Laksmiani. 2009. Petunjuk Praktikum Analisis Fisiko Kimia. Jimbaran : Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Udayana.
0 komentar:
Posting Komentar