2 komentar

KONSTIPASI


1.1 Definisi
Konstipasi atau sering disebut sembelit adalah kelainan pada sistem pencernaan dimana seseorang mengalami pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi sendiri sebenarnya bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat menandai adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro et al., 2008). Frekuensi defekasi/buang air besar (BAB) yang normal adalah 3 sampai 12 kali dalam seminggu. Namun, seseorang baru dapat dikatakan konstipasi jika ia mengalami frekuensi BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu, disertai konsistensi feses yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses yang besar maupun akibat terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami sensasi rasa tidak puas pada saat BAB (McQuaid, 2006). Masyarakat umum mendefinisikan konstipasi sebagai gejala subyektif seperti kesulitan defekasi, kram, kepenuhan perut atau kembung, ketidakmampuan untuk buang air besar, atau perubahan dalam rutinitas usus biasa (Koch and Hudson, 2000; Ross, 1993). Konstipasi dapat terjadi pada segala usia, dari bayi sampai orang tua. Sebagian besar penderita konstipasi dapat diobati secara medik untuk perbaikan keluhan (Dipiro et al., 2008).
1.2 Etiologi
Konstipasi bukanlah penyakit, tetapi merupakan gejala dari dari suatu penyakit atau masalah. Pendekatan terapi konstipasi harus dimulai dengan upaya untuk menentukan penyebabnya. Gangguan saluran pencernaan (irritable bowel syndrome atau diverticulitis), gangguan metabolik (diabetes), atau gangguan endokrin (hipertiroidisme) dapat dilibatkan dalam terjadinya konstipasi. Selain itu, dipercayai bahwa konstipasi terkadang diakibatkan oleh psikogenik (Dipiro et al., 2005). Konstipasi umumnya diakibatkan oleh rendahnya asupan serat atau penggunaan obat-obatan yang menghambat neurologis atau fungsi otot saluran pencernaan terutama usus besar. Beberapa golongan obat lain yang dapat menyebabkan konstipasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Konstipasi pada anak dapat terjadi akibat perubahan dalam diet atau asupan cairan, penyimpangan dalam rutinitas toilet seperti pada saat liburan, atau menghindari buang air besar karena rasa sakit yang terjadi saat mengeluarkan feses. Anak-anak yang terdiagnosis konstipasi kronis pada usia muda cenderung akan terus menderita konstipasi sampai melewati masa pubertas (Chisholm-Burns et al., 2008).
1.3 Patofisiologi
Konstipasi muncul akibat dua jenis gangguan motilitas usus. Gangguan pertama adalah koloninersia atau slow-transit constipation yang mengacu pada lambatnya perpindahan feses dari proksimal menuju kolon distal dan rektum. Terdapat dua mekanisme yang menyebabkan lambatnya transit kolon, yaitu penurunan kontraksi peristaltik dan aktivitas motorik yang tidak terkoordinasi dalam kolon distal. Gangguan kedua adalah pelvic floor dysfungtion, kondisi ini menyebabkan ketidakmampuan rektum untuk mengosongkan isi kolon. Kombinasi dari kedua gangguan tersebut juga dapat terjadi pada konstipasi dimana penderita mengalami kelambatan transit dan ketidakmampuan pada saat pengosongan (Linn et al., 2009).
Konstipasi dibedakan menjadi konstipasi primer dan sekunder berdasarkan penyebabnya. Konstipasi primer atau idiopatik ditandai dengan normal transit constipation, slow transit constipation, dan dyssynergic defecation. Pada tipe normal transit constipation motilitas kolon tidak berubah dan pasien cenderung mengalami feses yang keras pada gerakan normal. Pada slow transit constipation motilitas kolon menurun sehingga menyebabkan menurunnya ferkuensi buang air besar dan feses yang keras. Pada dyssynergic defecation (atau dikenal juga dengan pelvic floor dysfunction), penderita telah kehilangan kemampuan untuk mengendurkan anal sphincter sementara terjadi kontraksi otot pada pelvic floor (Chisholm-Burns et al., 2008).
Berikut adalah beberapa penyebab konstipasi sekunder:
-       Kondisi endokrin atau metabolik (diabetes mellitus, hipertiroidisme, hiperkalsemia)
-       Kondisi saluran cerna (diverticulitis, hemoroid)
-       Kondisi neurogenik (trauma otak, penyakit parkinson)
-       Kondisi psikogenik (kondisi psikiatrik)
-       Obat-obatan (opiat, analgesik, diuretik, antasida, klonidin, calcium chanel blockers)
-       Lain-lain (imobilitas, pola makan yang buruk, penyalahgunaan obat pencahar, gangguan hormonal).
(Chisholm-Burns et al., 2008)
1.4 Manifestasi Klinik
Pada pasien yang mengalami kosntipaasi akan ditemukan tanda-tanda ataupun gejala klinis sebagai berikut:
-       Ada rasa tidak nyaman dan kembung pada perut, kelelahan, sakit kepala, mual dan muntah, pergerakan usus yang hilang, feses dengan ukuran kecil, perasaan penuh, kesulitan, dan sakit saat mengeluarkan feses.
-       Feses yang keras, feses yang kecil atau kering, perut kembung, nyeri kram perut dan ketidaknyamanan pada perut, perut tegang atau ngeluarkan suara, kelelahan, sakit kepala, mual dan muntah.
-       Konstipasi menunjukan gejala yang parah apabila ditandai dengan gejala berlangsung lebih dari 3 minggu, terdapat darah dalam feses, penurunan berat badan, demam, anoreksia, mual, dan muntah atau setiap kali terjadi perubahan kebiasaan buang air besar yang biasa terjadi secara signifikan.
-       Implikasi dari konstipasi dapat bervariasi mulai dari rasa tidak nyaman sampai gejala kanker usus besar atau penyakit serius lainnya.
(Burns et al., 2008; Dipiro et al., 2008; Sukandar dkk., 2008)

1.5 Tata Laksana Terapi
Terapi yang dilakukan pada pasien dengan keluhan konstipasi bertujuan untuk pencegahan konstipasi lebih lanjut, menghilangkan gejala dan mengembalikan fungsi normal usus. Strategi pengobatan yang dilakukan meliputi terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.
1.5.1 Terapi Non Farmakologi
Terapi utama yang dilakukan untuk penderita konstipasi adalah perubahan gaya hidup. Karena pada umumnya konstipasi adalah kelainan saluran cerna bukan suatu penyakit. Terapi farmakologi yang dilakukan dapat berupa:
a.    Diet tinggi serat (buah, sayuran dan sereal) sangat dianjurkan. Cara ini sebaiknya dicoba sebelum pasien menggunakan laksatif. Serat mampu meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. Untuk mendukung manfaat serat ini, diharapkan pasien meminum air sekitar 8-10 gelas sehari.
b.    Minum susu dapat meningkatkan pergerakan dari usus.
c.    Lakukan olahraga dan aktivitas fisik secara teratur untuk membantu mencegah konstipasi. Olahraga yang dilakukan sesuai umur dan kemampuan pasien akan memperlancar sirkulasi dan meningkatkan tonus otot usus.
d.    Latihan usus besar. Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada pasien penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Pasien dianjurkan meluangkan waktu 5-10 menit setelah makan untuk melakukan gerakan yang bermanfaat pada usus besar. Hal ini akan bermanfaat untuk refleks gastro kolon untuk buang air, sehingga pasien diharapkan akan tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsangan untuk buang air dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk buang air besar.
e.    Pembedahan hanya dilakukan bila dijumpai konstipasi kronis dan tidak dapat diatas dengan cara-cara pengobatan farmakologi serta non farmakologi lainnya. Prosedur pembedahan hanya dilakukan apabila pasien mengalami konstipasi berat dengan masa transit yang lambat, tidak diketahui penyebab pastinya dan tidak ada respon dengan pengobatan yang sebelumnya dilakukan. Pada umumnya bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau volvulanus, maka tidak dilakukan tindakan pembedahan.
(Pranarka dkk., 2009)


1.5.2 Terapi farmakologi
Apabila modifikasi gaya hidup kurang berhasil, maka perlu ditambahkan terapi farmakologi golongan laksatif. Ada 4 tipe obat golongan laksatif seperti pada tabel dibawah ini.
Tabel 1.1 Golongan Obat Laksatif untuk Terapi Farmakologi Konstipasi
No
Golongan Obat
Nama Obat
Dosis
Keterangan
1.
Memperbesar dan melunakkan massa feses (Bulking Agents)
Psyllium
Metilselulosa
isphagula


4-6 g per hari. Bervariasi sesuai produk


Obat golongan ini kerjanya relatif lambat (1-3 hari), tetapi hanya sedikit yang berpengaruh terhadap aktivitas usus normal dibandingkan dengan laksatif lainnya. Bulking Agents mengandung partikel yang dapat menyerap air lebih banyak, sehingga meningkatkan aktifitas usus dalam membentuk feses.
2.
Laksatif Osmotik
Laktulosa
15-30 mL oral
Menyebabkan efek osmotik pada usus besar. Digunakan pada konstipasi akut. Golongan osmotik tidak diserap melainkan dapat meningkakan sekresi air kedalam usus. Sehingga cukup aman untuk digunakan. Misalnya pada penderita gagal ginjal.
Sorbitol
30-50 g per hari
Garam magnesium




2-4 g 8%
suspensi dalam air atau 5-10g dengan segelas air
Macrogol

½ - 1 tube
perhari

Gliserin
3 g perhari

3.
Laksatif Stimulan
Bisacodyl
10mg rektal
Obat golongan ini bekerja memiliki onset kerja yang cepat dan hanya digunakan bila pengobatan yang lain gagal. Obat ini bekerja pada ujung saraf dinding usus, memicu kontraksi otot, dan menyebabkan peristaltik usus.
Senna
½-2 tablet
Sodium picosulfat
2-15mg per hari
 PEG electrolyte solution
4 L
fenoftalein
30-270 mg/oral
4.
Melunakkan atau pelumas feses (lubricant laxatives)
Minyak mineral

15-30 mL oral

Obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air
Docusate
50-360 mg/hari
(Djuanda dkk., 2009; Sukandar dkk., 2008)
1.5.3 Batasan untuk Apoteker dalam Swamedikasi (Self-medication)      
Swamedikasi pada penderita konstipasi yang tidak mempan pada perubahan pola hidup maka dapat diberikan diberikan beberapa obat golongan laksatif yang lazim, disertai KIE yang tepat dan benar karena penggunaan dari obat pencahar tidak boleh untuk jangka panjang. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan diare, sehingga akan kehilangan cairan dan elektrolit tubuh, khususnya defisiensi kalium yang berujung pada hilangnya kepadatan otot polos. Laksatif adalah obat yang membantu meningkatkan motilitas usus, massa tinja dan frekuensi buang air besar pada saat konstipasi. Sehingga pemilihan obat dari golongan laksatif yang tepat tergantung dari penyebab konstipasi itu sendiri. Tabel dibawah ini akan memberikan pemilihan obat untuk self-medication.
Tabel 1.2 Pilihan obat self-medication pada pasien konstipasi
No
Nama Obat
KIE
1.
Psilium
Obat pembentuk masa yang berasal dari alam.
-          Pasien harus diberi asupan cairan yang cukup untuk menghindari gangguan usus
-          Tidak boleh diminum sesaat sebelum tidur
-          Pemakaian yang dianjurkan 1 sachet dalam segelas air untuk 1-3 kali pemakaian perhari, untuk anak-anak dibawah 6 tahun dapat diberikan ½ sachet atau kurang dari ½ dosis dewasa.
2.
Metilselulosa
Obat pembentuk masa semisintetik (efek 12-24 jam)
-          Pasien harus mengkonsumsi cairan yang cukup untuk menghindari dehidrasi dan gangguan usus.
-          Tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan mengunyah karena dapat mengakibatkan obstruksi usus atau esophagus.
-          Metilselulosa digunakan untuk melembekkan feses pada pasien yang tidak boleh mengejan, misalnya pasien dengan hemoroid.
-          Dosis anak 3-4 kali 500 mg / hari, sedangkan dosis dewasa 2-4 kali 1,5 g / hari.
3.
Garam magnesium
-          Tidak boleh diberikan pada anak dibawah 6 tahun
-          Setiap kali minum obat harus dengan segelas air putih dingin atau lebih untuk memaksimalkan efek obat. Dapat diimbnagi denganan meminum jus buah untuk menghilangkan rasa tidak enak dari obat.
-          Untuk cara penggunaan yang dianjurkan adalah 2 g magnesium hidroksida dilarutkan dalam 25 mL air atau 5-10 g magnesium sulfat dalam segelas air penuh sebelum maan pagi atau saat perut kosong.
4.
Gliserin (waktu kerja kurang lebih 30 menit)
-          Tidak boleh diberikan pada anak dibawah 6 tahun tanpa petunjuk dokter
-          Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 3 g (suppositoria) atau 5-15 mL sediaan cair melalui anus.

5.
Laktulosa (kurang lebih berefek setelah diminum 48 jam)
-          Setiap kali minum harus dengan segelas air atau jus buah untuk menghilangkan rasa tidak enak.
-          Tidak dianjurkan pemberian obat ini tanpa petunjuk dokter jika pasien mengalami diabetes karena dapat meningkatkan kadar gula dalam darah
-          Efek samping paling umum adalah iritasi pada rectum dan perlu diwaspadai
-          Dosis yang direkomendasikan pada pasien dewasa yaitu dosis awal 10-20 gram satu kali sehari, selanjutnya diberikan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan untuk pasien anak di bawah 1 tahun dapat diberikan 1,5 gram laktulosa yang dilarutkan dalam 25 ml air satu kali sehari; untuk anak usia 1-5 tahun 3 gram laktulosa yang  dilarutkan dalam 5 ml air satu kali sehari sedangkan untuk anak usia 5-10 tahun dapat diberikan 2 kali sehari dengan dosis yang sama
6.
Minyak mineral (6-8 jam untuk menimbulkan efek)
-          Sebaiknya dikonsumsi 2 jam setelah makan, karena dapat mengganggu penyerapan makanan.
-          Dosis yang direkomendasikan yaitu 10 mL diminum pada malam hari, tetapi tidak boleh diminum sesaat sebelum tidur
-          Tidak boleh diberikan pada anak, lansia dan ibu hamil.
7.
Bisakodil (efek 7 jam peroral dan kurang lebih 30 menit dalam bentuk suppositoria
-          Harus harus diperhatikan dari penggunaan obat ini adalah kemungkinana terjadinya kram perut, kekurangan cairan dan elektrolit, hilangnya protein usus, efek pencahar berlebihan dan defisiensi kalium.
-          Tidak boleh digunakan pada anak-anak dibawah 6 tahun
-          Sebaiknya dikonsumsi pada saat perut kosong untuk mendapatkan efek yang cepat
-          Tablet bisakodil dapat menyebabkan iritasi dan rasa mual. Oleh karena itu biasanya dibuat dalam bentuk salut dan tidak boleh dikunyah, digerus, atau dikonsumsi bersama dengan susu.
-          Dosis bisakodil yang direkomendasikan untuk terapi pada orang dewasa adalah  5-10 mg pada malam hari untuk obat yang diminum (oral) atau 10 mg pada pagi hari untuk obat yang dimasukkan melalui dubur (suppositoria), sedangkan untuk anak di bawah 10 tahun dosis yang direkomendasikan adalah 5 mg baik dalam sediaan oral ataupun dalam sediaan suppositoria.
                                                                                                (Irhamayati dkk., 2013)

1.5.4 Rujukan ke Dokter
Rujukan ke dokter perlu dilakukan apabila pasien tidak dapat ditangani secara swamedikasi dan mengalami gejala berikut:
a.    Pasien sulit buang air besar yang disertai penurunan berat badan, feses berukuran kecil-kecil dan feses bercampur darah
b.    Ibu hamil yang mengalami konstipasi dan tidak dapat ditangani dengan terapi non farmakologi seperti perubahan pola hidup.
c.    Penderita dengan radang usus dan radang usus buntu, karena pasien tidak boleh sembarangan diberikan obat golongan laksatif sehingga perlu dirujuk ke dokter.
d.   Setelah satu minggu mengkonsumsi obat pencahar dan tidak terjadi perubahan, maka perlu dirujuk ke dokter. Terutama pada pasien yang mengalami konstipasi terus berulang, menetap atau memburuk selama lebih dari 2 atau 3 minggu.
(Djuanda dkk., 2009; Irhamayati dkk., 2013)
1.6 Pertanyaan yang Harus Digali
Untuk memberikan terapi konstipasi, terlebih dahulu harus diketahui secara lengkap riwayat konstipasi yang sedang dialami pasien, apakah konstipasi yang dialaminya memiliki frekuensi tertentu (seperti buang air besar kurang dari tiga kali per minggu), konsistensi feses (keras atau kental), mengejan berlebihan atau tidak, waktu defekasi yang berkepanjangan, atau perlunya inisiasi untuk buang air besar (Wells et al., 2006).
Berikut ini adalah daftar pertanyaan yang umumnya harus ditanyakan pada pasien sebelum melakukan swamedikasi:
1.      Siapa pasien dan berapa umurnya?
Untuk mengetahui apakah yang akan menerima pengobatan adalah anak-anak, orang dewasa, atau lansia. Hal ini dikarenakan perbedaan kategori usia akan menyebabkan pengobatan yang diberikan berbeda pula.
2.      Apakah Anda sedang hamil? (Bila pasiennya wanita)
Hal ini harus menjadi pertimbangan untuk menjaga keamanan pasien dan janin, karena beberapa obat laksatif tidak boleh diberikan pada wanita hamil.
3.      Kapan terakhir Anda BAB?
Dengan mengetahui lamanya waktu konstipasi yang dialami pasien, dapat ditentukan apakah konstipasi yang dialami oleh pasien adalah konstipasi akut atau kronis.
4.      Bagaimana frekuensi BAB Anda biasanya? Bagaimana fesesnya?
Frekuensi buang air besar perlu diketahui untuk menentukan apakah pasien mengalami konstipasi atau tidak. Frekuensi buang air besar (BAB) yang normal adalah 3 sampai 12 kali dalam seminggu. Pasien dapat dinyatakan mengalami konstipasi apabila mengalami frekuensi BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu, disertai konsistensi feses yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses yang besar maupun akibat terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami sensasi rasa tidak puas pada saat BAB.
5.      Apa Anda merasa sakit perut/perut kembung/mual/muntah?
Konstipasi sering dikaitkan dengan ketidaknyamanan pada perut, kembung dan mual. Dalam beberapa kasus konstipasi yang parah disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan sehingga menyebabkan sakit perut, perut kembung dan muntah. Jika ada gejala sugestif obstruksi, maka pasien harus dirujuk ke rumah sakit. Penyebab obstruksi lain adalah tumor usus atau volvulus yang perlu ditangani dengan pembedahan.
6.      Apakah ada darah pada tinja yang Anda keluarkan?
Adanya darah dalam feses dapat disebabkan karena wasir atau luka di tepi kulit anus (fisura anus). Kedua kondisi ini disebabkan oleh diet rendah serat. Darah berwarna merah terang dapat ditemukan pada permukaan feses (tapi tidak bercampur) dan memercik di sekitar toilet yang menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa sakit ketika berdefikasi. Pasien perlu dirujuk apabila darah bercampur dengan feses karena dapat disebabkan oleh penyakit lain yang lebih parah. 


7.      Apakah Anda biasanya makan makanan berserat?
Jika pasien selama ini kurang mengonsumsi makanan berserat, maka diduga konstipasi yang dialami pasien disebabkan karena rendahnya asupan serat dalam tubuh pasien sehingga menyebabkan terjadinya konstipasi.
8.      Apakah Anda sedang dalam pengobatan? Obat apa yang Anda konsumsi?
Penggunaan obat-obatan tertentu dapat memicu terjadinya konstipasi. Adapun beberapa golongan obat yang dapat memicu terjadinya konstipasi dapat dilihat pada Gambar 1.
9.      Apakah Anda sudah pernah menggunakan pencahar?
Jika pasien sebelumnya telah menggunakan satu atau lebih obat pencahar namun ternyata gagal, sebaiknya pasien dirujuk ke dokter. Riwayat penggunaan laksatif secara terus menerus (terutama laksatif stimulan) dapat menyebabkan hilangnya aktivitas otot pada dinding usus.
(Blenkinsopp et al., 2005; Fauci et al., 2008; McQuaid, 2006; Wells et al., 2006)
1.7 Luaran/Monitoring
Apoteker  dalam monitoring terapi obat hendaknya menginformasikan kepada pasien tentang perbaikan gejala untuk menentukan efektivitas terapi. Pasien setidaknya mengalami peningkatan frekuensi buang air besar. Selain itu, pasien diinformasikan agar tidak terlalu sering menggunakan pencahar karena dapat mengakibatkan ketergantungan. Ketergantungan ini disebabkan karena penggunaan pencahar dapat merusak sel-sel saraf pada kolon. Penggunaan pencahar golongan lubrikan (bahan dasar minyak mineral) mencegah absorbsi vitamin A, D, E, K. Penggunaan laksatif golongan bulk-forming yang berkelanjutan dapat menyebabkan dehidarsi pada penggunanya. Secara umum, jika digunakan secara luas laksatif dapat menyebabkan vitamin dan nutrisi yang diperlukan tubuh terbuang sebelum dicerna. Laksatif juga dapat menghambat absorpsi atau menghilangkan efikasi obat (Pramudianto dkk., 2009).
 
;